Skip to content
Blog Fathoniarief
Blog Fathoniarief
  • Home
  • Salam Pembuka
  • Tentang Fathoni Arief
  • Indeks Daftar Artikel
Blog Fathoniarief

Lagu Sendu Sang Daradasih

admin, Mei 31, 2025Mei 31, 2025

Malam semakin larut. Jarum jam juga sudah meninggalkan angka 12. Namun, mata Sugiman, kakek renta penjaga makam dan penyebar berita kematian, belum terpejam. Tubuh tuanya sudah terbaring di kursi lincak depan rumah. Ia hanya bisa beberapa kali menguap tapi tak bisa terlelap. Mata senjanya menerawang ke tengah kegelapan malam, di antara rerimbunan pepohonan di depan gubuknya, tempat kicauan burung daradasih berasal.

Tak jua bisa tertidur, Mbah Man, begitu orang kampung biasa memanggil, bangkit dan duduk bersandar di dinding gedhek rumahnya, dengan berselimut sarung. Malam ini ada sesuatu yang mengusik perasaan lelaki tua itu. Satu kegelisahan, tak seperti biasanya, mengganggu istirahat malamnya. Perhatiannya masih tertuju pada rerimbunan pohon. Beberapa puluh meter dari pohon itu memang sebuah kompleks pemakaman.

Mbah Man hampir menghabiskan separuh hidupnya sebagai penjaga makam, atau hampir empat puluh tahun. Tepatnya setahun setelah kematian bapaknya, yang terlebih dulu menggeluti profesi tersebut. Rentang waktu cukup panjang membuatnya memahami isyarat yang diberikan oleh hewan atau alam. Meski pada mulanya, ia hanya menganggap hal itu sebagai satu kebetulan belaka, namun karena terjadi berkali-kali akhirnya ia meyakini tanda-tanda tersebut. Meskipun tak semua orang mempercayai hal tersebut, termasuk munculnya suara kicauan burung daradasih di malam hari.

Malam ini suasana kampung memang begitu sepi, tak seperti biasanya. Tak terlihat sama sekali warga yang mendapat giliran jaga malam ataupun pedagang bakso atau sate yang melewati jalan desa. Hampir semua pintu rumah warga sudah ditutup, kecuali rumah Mbah Man. Padahal biasanya masih terdengar percakapan warga yang mengomentari diskusi politik di televisi atau siaran langsung sepak bola.

Namun, Mbah Man seperti tak menghiraukan itu. Ia masih berlama-lama duduk di teras rumah di atas kursi lincaknya. Batuk pun mulai menyerangnya, tetapi bukannya masuk ke dalam gubuk, justru ia mengambil sebatang rokok kretek dari jaket kumalnya. Tak lama kemudian rokok itu pun menyala dan asap keluar berirama dengan suara batuknya.

Batuk Mbah Man makin menjadi, namun ia seakan tak peduli, bahkan kini ia sudah menghabiskan rokok pertama dan kedua menyusul dinyalakan. Padahal setahun lalu dokter sudah melarangnya menghisap tembakau dan menghirup udara malam setelah ia divonis menderita kanker paru-paru.

“Tii..tut..twiiit, ..twiit, ..twiit, ..twit, ..twit, ..wit, ..wit, ..wit-wit-wit-wit-wit-wit,” kicauan burung daradasih terus terdengar. Bahkan kini suaranya makin keras, menyebarkan suasana mencekam dan membuat bulu kuduk berdiri.

Mbah Man semakin yakin, kali ini bukan hal biasa. Ia mulai mengingat-ingat satu per satu penduduk desa, apa ada yang sedang sakit keras beberapa hari ini. Tapi ia tak mendapatkan satu nama pun karena dalam sebulan ini orang yang tengah sakit keras sudah meninggal dua pekan lalu.

Pikiran Mbah Man tak berhenti hingga di situ saja. Ia kini menelusuri penduduk desa yang usianya seangkatan dengannya, mencoba menduga-duga siapa dari mereka yang kali ini bakal kembali ke alam sana. Mbah Atmo, Mbah Supo, Mbah Joyo, Mbah Kromo, nama-nama yang teringiang. Hingga ia mengingat satu nama, Daradasih.

Daradasih, nama sinden pujaan hati Mbah Man sewaktu muda. Sugiman muda masih ingat betapa merdunya suara Asih, namun menyimpan satu misteri, seperti suara burung Daradasih. Pandangan Mbah Man menerawang jauh, menembus gelap. Dalam lamunannya terlihat sosok sinden cantik jelita tengah melantunkan tembang sambil tersenyum padanya.

“Kang Sugiman!” sapa wanita itu.

“Dik Asih, ke mana saja selama ini?” Sugiman membalas sapa wanita itu. Namun tiba-tiba saja bayangan itu menghilang.

“Astagfirullah,” gumam Mbah Man.

Mbah Man kembali ke alam sadarnya. Asih sudah meninggal puluhan tahun lalu. Sakit misterius tiba-tiba saja datang hingga nyawanya tak tertolong lagi. Peristiwa yang membuat Sugiman memilih menjadi penjaga makam dan penyebar berita lelayu. Suara daradasih membuatnya merasa dekat dengan Asih sang daradasih, sinden pujaannya.

Malam mulai berganti pagi, namun Mbah Man masih tak bergeming dari kursi lincaknya dan sudah sepuluh batang rokok kretek ia habiskan. Namun, rupanya kantuk tak juga datang. Tapi rupanya tubuh tua lelaki itu memang tak bisa ditipu. Ia pun kini mulai merasa letih dan tanpa sadar kembali berbaring berselimutkan kain sarung. Sementara itu, kicauan burung Daradasih masih terdengar meskipun suaranya mulai tertutup hujan deras yang mengguyur desa kecil itu.

Pagi Hari

Sang Surya perlahan mulai naik ke peraduannya. Kondisi ini cukup menghangatkan kampung, yang hampir semalaman diguyur hujan lebat. Warga desa pun mulai nampak keluar dari rumah memulai aktivitasnya masing-masing.

Namun, suasana pagi ini tak biasa bagi warga. Satu tanda besar tersimpan dalam benak mereka. Rupanya suara kicauan burung Daradasih juga mengganggu istirahat malam mereka. “Suaranya terdengar hingga rumah saya,” kata Prawiro, sang kepala Dusun dengan raut muka tegang.

“Saya juga mendengar, Pak, ngeri sekali,” Amin, seorang guru TK tetangga Prawiro, juga merasakan hal yang sama.

Prawiro merasakan hal yang aneh. Suara itu muncul tapi hingga pagi tak ada satu pun warga yang melaporkan adanya berita lelayu. Biasanya jika ada laporan warga, berita tersebut langsung disebarluaskan. Mbah Sugiman dengan menggunakan becak berkeliling kampung membunyikan bende mewartakan kabar duka.

Tanda tanya besar ada dalam benak warga. Suara bende dan berita kematian yang ditunggu-tunggu tak jua datang. Hingga ketakutan yang berlebih akan datangnya kematian yang merenggut nyawa mereka muncul. Semuanya dirasakan warga yang percaya, setidaknya hingga senja menjelang.

Namun, menjelang Magrib jawaban itu muncul setelah seorang warga tergopoh-gopoh datang ke rumah kepala dusun. Tak butuh waktu lama, warga berduyun-duyun mendatangi rumah Mbah Man.

“Sudah meninggal, Pak,” kata seorang dokter yang bertugas di Puskesmas dekat balai desa.

Lelaki tua itu ditemukan terbujur kaku di depan gubuk tuanya. Noda darah terlihat di kain sarungnya. Mbah Man telah berpulang. Usia tua dan TBC merenggut nyawanya.

Yogyakarta, 7 Maret 2011 Fathoni Arief

 

Lincak : bangku panjang, biasanya terbuat dari bambu untuk santai
Gedhek : anyaman bambu digunakan sebagai pembatas ruang atau dinding
Lelayu : kematian
Bende : alat mirip kenong untuk dipukul sebagai pertanda tertentu
Daradasih : Nama lain dari Cacomantis merulinus. Burung yang kerap ditemui di lingkungan pedesaan ini dikenal dengan banyak nama. Mulai daridaradasih atau daradasih (nama umum, Jw.), kedasi, sit uncuing, sirit uncuing, atau manuk uncuing (Sd.)
Cerpen Cerpendaradasih

Navigasi pos

Previous post

Related Posts

Cerpen

Bintang di Gerbong Senja

Desember 17, 2024Desember 17, 2024

Bus kota melaju perlahan, membawaku menuju stasiun Lempuyangan. Salah satu stasiun tua yang selalu berhasil mengukir senyum di wajahku. Benar-benar seperti pintu waktu, tempat ini membawaku kembali pada sebuah kisah yang tersimpan rapi di sudut ingatanku. Sebuah kenangan yang sudah terjadi lebih dari enam bulan lalu. Setiap sudut stasiun itu…

Read More
Cerpen

Melodi Sunyi Di Jalan Pulang

Oktober 21, 2024Mei 30, 2025

Suara Ayah, “Ayah ingin pulang,” masih terngiang di telingaku, setiap kata mengiris hati. Jemariku memutih di atas setir yang kupegang erat, berusaha meredam gejolak dalam dada. Deru mesin mobil yang biasanya menenangkan, kini hanya menambah kesunyian yang menyesakkan. Kami sudah melaju cukup jauh, melewati jalanan kabupaten yang lengang. Pepohonan tinggi…

Read More
Cerpen

Sayap Yang Hilang

Mei 23, 2025

Sutarji duduk termenung di kursi tuanya yang usang. Matanya yang sayu terus tertuju pada deretan foto di dinding, seakan berharap dari sana, wajah Budi akan kembali tersenyum padanya. “Bud, makan sayur yang banyak. Biar kamu lekas besar, bisa sekolah, dan jadi pilot. Nanti bisa keliling Indonesia, bahkan dunia, tanpa bayar…

Read More

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tulisan Terbaru

  • Lagu Sendu Sang Daradasih
  • Bunga Terakhir dari Balik Jeruji: Tragedi, Penantian, dan Penebusan
  • Mengenang Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso
  • Catatan Akhir Pekan: Tentang Menulis dengan Hati
  • Mengenang Ayrton Senna, Sang Legenda yang Menginspirasi

Galeri

Rubrik

  • Esai & Gagasan
    • Aneka
    • Arsitektur Vernakular
    • Cagar Budaya
    • Ekologi Budaya
    • Kampung Kota
    • lansekap
    • Sapa
    • Transportasi
  • Karir & Produktivitas
    • Tips Menulis
  • Kehidupan & Refleksi
    • Kisah
  • Perjalanan
    • Cerita Dari Kota Tua
  • Sastra & Cerita Pendek
    • Cerpen
    • Film

Kata Kunci

Arsitektur Arsitektur Vernakular bantuan Naskah Belajar Menulis Brand Story Telling Cagar Budaya cerita dari bayah cerita pendek Cerpen Cerpen bintang Cerpen Fathoni Arief Cerpen Tentang Ayah dunia kepenulisan gerbong senja Guru Daerah Terpencil Guru Papua Inspirasi Jakarta jasa penulis Jasa Penulisan Kawah Ijen Kisah Kisah Ayrton Senna kisah dari bayah kisah ibu kota Kisah Perjalanan Kopi menulis menulis produktif merjan merjan air mata mudik Naftali naik pesawat pertama kali pengalaman naik pesawat penulis penulis profesional perjalanan perjalanan ke kawah ijen Prof Hardjoso Rawa Jati sayap yang hilang sejarah kopi sisi lain tentang ibu kota sosok sugeng

Pos-pos Terbaru

  • Lagu Sendu Sang Daradasih
  • Bunga Terakhir dari Balik Jeruji: Tragedi, Penantian, dan Penebusan
  • Mengenang Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso
  • Catatan Akhir Pekan: Tentang Menulis dengan Hati
  • Mengenang Ayrton Senna, Sang Legenda yang Menginspirasi

Arsip

  • Mei 2025
  • April 2025
  • Maret 2025
  • Desember 2024
  • Oktober 2024
  • September 2024
  • Agustus 2024
  • Juli 2024
  • Mei 2024
  • Juni 2023
  • Mei 2023
  • Desember 2022
  • November 2022
  • November 2021
  • Januari 2021
  • Januari 2020
  • September 2019
  • Juni 2019

Home | Perjalanan | Refleksi | Cerita | Esai | Jasa | Tentang

©2025 Blog Fathoniarief | WordPress Theme by SuperbThemes